Wednesday, September 9, 2009

Melihat Agama Dari Perspektif Kosmologi

Berbicara mengenai alam semesta, hampir semua orang merasakan hal yang sama yakni kita sangat kecil di alam semesta ini. Saya ingin mengoreksi sedikit, kita bukan saja sangat kecil tapi sungguh-amat-sangat-terlalu kecil sehingga kata "kecil" saja tampaknya terlalu besar.

Klik foto di samping untuk mendapatkan gambaran sebesar apakah alam semesta itu.

Seluruh tata surya kita ibarat sekeping uang koin Rp 500, terletak di gugusan kiri atas galaksi Bima Sakti yang besarnya ibarat pulau Kalimantan dan terdapat satu milyar lebih "pulau Kalimantan" di alam semesta dengan jarak "antar pulau" sekitar 23.651.826.181.450.000.000 km. Seberapa jauhkah itu? Coba kita lihat. Anggaplah begitu Anda lahir dari rahim ibu Anda seketika itu juga Anda dimasukkan ke roket tercepat yang ada pada masa kini untuk menuju ke galaksi terdekat kita. Dengan asumsi Anda bisa hidup selama 70 tahun, Anda harus reinkarnasi sebanyak 657 juta kali baru tiba di galaksi tersebut.

Luasnya alam semesta memang di luar batas kemampuan kita untuk memikirkannya. Semakin saya memikirkannya, semakin sangat mustahil rasanya si "pencipta" alam semesta ini akan peduli bahwa spesies berkaki dua yang bernama manusia yang hidup di sebuah planet kecil berwarna biru yang terserak di satu antara milyaran galaksi itu:

Harus mengenakan jubah dan harus berwarna hitam yang menutupi dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Tidak boleh memakan binatang tertentu (sapi, babi, dll, dst), bahkan paling ekstremnya menyentuh saja tidak boleh.

Tidak boleh meminum minuman tertentu.

Tidak boleh bekerja pada hari tertentu.

Dan ratusan "tidak boleh" lainnya yang tidak akan habis ditulis.

Semakin dipikirkan, akan semakin terkuak jelas bahwa semua larangan itu adalah buah pikiran orang-orang di masa lalu yang kemudian meng-klaim-nya sebagai perintah dari si "pencipta" alam semesta.

Tidak bisa dipungkiri bahwa daftar "tidak boleh" tersebut dibuat dengan maksud yang baik, paling tidak pada zaman dan budaya di mana si pencetus ide tersebut hidup. Maksud baik adalah satu sisi, memaksakannya kepada semua individu tanpa pandang bulu adalah sisi lain.

Sudah sering kita dengar bahwa logika dan iman itu tidak pernah akan bisa bertemu. Galileo Galilei berkata "Saya tidak mengerti mengapa Tuhan mengaruniakan kita akal sehat dan logika akan tetapi melarang kita menggunakannya". Saya banyak menemui, berbicara dengan orang-orang religius dan mereka tidak bisa membantah bahwa memang banyak bagian dari kepercayaan mereka tidak masuk di akal namun toh mereka tetap tidak bergeming.

Itulah sebabnya tidak mudah menjadi ateis. Tidak mudah melepaskan doktrin yang sudah tertanam dengan kuat dan tidak gampang melupakan ancaman akan neraka jika meragukan doktrin tersebut.

Hidup ini terlalu singkat untuk dijalani dengan khayalan dan halusinasi. Hidup hanya sekali dan rasanya sayang sekali dilalui dengan mematuhi membabi buta doktrin-doktrin kreasi manusia yang hidup di ribuan tahun lalu.

2 comments:

  1. Artikel yg bagus. Yang senada dengan artikel di atas ada artikel dari Carl Sagan: http://editthis.info/iaprojects/Pale_Blue_Dot

    ReplyDelete
  2. Ya, pertama kali melihat foto Pale Blue Dot itu, pikiran saya melayang-layang. It totally blew me away. I miss Carl Sagan ...

    ReplyDelete